Senin, 30 Maret 2009

SEKOLAH DASAR 027 (mei) 2003

Seorang Guru Mengajar Tiga Siswa

DARI dalam tiga ruang kelas Sekolah Dasar (SD) 027 Batu Narit, di Desa Pa Raye, Kalimantan Timur, terdengar suara riuh dengan tawa bocah kecil tak ubahnya sebuah sekolah dasar di Indonesia pada umumnya. Namun, saat kita menengok ke dalam, terlihat pemandangan tak lazim: seorang guru dengan serius mengajar di depan sekitar tiga sampai lima siswa. Ini bukan kursus privat, tetapi memang merupakan potret situasi pendidikan di pedalaman.

Sekolah dasar di pedalaman Krayan memang unik. Dalam segala keterbatasan serta keterasingan, semangat belajar warga Lundayeh tetap tinggi. Mereka pun ngotot membangun pendidikan dasar di tiap desa meski terkadang jumlah murid sangat sedikit dan tak sebanding dengan jumlah tenaga pengajar.

Salah satu contohnya adalah SD 027 Batu Narit di Desa Pa Raye, Kecamatan Krayan, yang hanya memiliki 29 murid dari kelas 1 hingga kelas 6.

Jumlah perbandingan guru dengan murid 1:3 terkesan sangat ideal seperti boarding school di Jakarta dan negara-negara maju yang melengkapi diri dengan pelbagai fasilitas modern, kolam renang, lapangan bola, perpustakaan, dan kelengkapan mewah lainnya.

Lain halnya dengan SD 027 yang sunyi senyap karena seorang guru harus memutar otak untuk membuat siswa kreatif dan tidak bosan dengan suasana sepi.

Kepala Sekolah Dasar 027 Yagung Padan dengan bersemangat menceritakan pergumulan membangun proses belajar-mengajar di lingkungan empat guru, termasuk dirinya, dan 20-an siswa di Pa Raye.

"Murid kami memang sedikit, yang umumnya masih berhubungan keluarga dengan para guru. Ruangan yang ada juga terbatas sehingga harus disiasati menggabungkan siswa kelas 1 dengan kelas 2, kelas 3 dengan kelas 4, dan kelas 5 belajar bersama kelas 6.

Mau apa lagi, tetapi inilah satu-satunya sarana untuk mendapat pendidikan agar dapat terlepas dari keterasingan dan ketertinggalan," ujar Padan menjelaskan.

MESKI terlihat membosankan mengajar di tempat terpencil dengan jumlah siswa yang minim, bukan berarti disiplin ditinggalkan. Yagung Padan tidak segan mengeluarkan surat teguran terhadap guru yang kerap membolos bahkan meminta atasan untuk melakukan mutasi terhadap tenaga pengajar yang bersangkutan.

Sekolah tersebut memiliki tiga guru, yakni Yayub Dawat, Samuel Pangeran, tenaga honorer Yahya Labo, dan Yagung Padan yang merangkap tugas sebagai kepala sekolah sekaligus pengajar.

Mereka mengajar dalam segala keterbatasan sarana di kompleks sekolah dasar yang selesai dibangun tahun 1996 itu. Tidak ada kamar mandi, papan tulis, ataupun meja guru, semua serba darurat dan seadanya.

Dalam keterbatasan, disiplin belajar tetap dijaga. Pelajaran dimulai pukul 07.00 hingga pukul 10.00 bagi siswa kelas 1 dan 2. Sementara siswa kelas 3 hingga kelas 6 belajar hingga pukul 13.00 siang hari.

Tentu saja disiplin yang berlaku tidak dijalankan secara kaku dalam komunitas kecil yang saling terkait dalam ikatan kekerabatan di Pa Raye. Terkadang bocah-bocah kecil itu dengan lugu meminta waktu istirahat karena lapar ataupun haus. Setelah mendapat izin, mereka ngeloyor meninggalkan sekolah berlarian ke rumah mereka yang hanya sepelemparan batu jaraknya dari gedung sekolah.

"Kek Yagung kapan mulai lagi," ujar seorang siswa yang ternyata cucu kepala sekolah. Dia menanyakan kapan pelajaran berlanjut seusai istirahat sekolah.

Rutinitas itu berlangsung hingga siswa lulus sekolah. Mau membolos? Nanti dulu. Oleh karena jarak rumah dengan sekolah sangat dekat, seluruh perilaku siswa terpantau oleh para guru. Demikian pula tingkah laku para guru tak luput dari perhatian murid dan orangtuanya.

Pelajaran pun berlangsung dalam suasana prihatin. Buku paket gratis yang seharusnya mereka terima tidak pernah sampai ke pedalaman. Buku-buku tersebut hanya dikirim paling jauh ke Kota Tarakan di pesisir Kalimantan Timur.

Alhasil para siswa harus menyalin pelajaran dari buku pelajaran usang yang sudah tertinggal sekian belas tahun. Kurikulum boleh berganti, tetapi para siswa di Krayan tidak mengalami perubahan dan pembaruan pola pendidikan lantaran tergantung pada buku teks usang.

Meski demikian, warga Lundayeh di dataran tinggi Krayan tidak menyerah. Hampir di setiap desa terdapat sebuah sekolah dasar, di desa yang cukup banyak penduduknya didirikan SMP. Bahkan, SMU dan sekolah perawat serta sekolah teologi dibangun pula di sana.

"Meski Pa Raye hanya desa kecil, sejak tahun 70-an hingga kini ada sekitar 20 sarjana yang berasal dari kampung ini. Salah satunya adalah Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat Ari Yasir Pilipus," kata Yagung Padan.

Bahkan, jika nasib baik, tidak sedikit siswa-siswi Krayan melanjutkan pendidikan di Sabah dan Sarawak dengan dukungan kerabat mereka yang tinggal di Malaysia. Anggota DPRD Kalimantan Timur asal Krayan, Pilipus Gaing, mengatakan, warga Lundayeh Krayan yang bersekolah di Sarawak banyak yang menjadi warga Malaysia dan mendapatkan jabatan penting di sana.

Ini seharusnya menjadi cambuk bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Republik Indonesia dalam memperhatikan warga pedalaman-perbatasan. Apakah kasus Sipadan-Ligitan harus terulang di Krayan?

Search :

Berita Lainnya :

·

Dayak Lundayeh, "Suku Sherpa" dari Borneo

·

Harmoni Bumi-Manusia di Krayan

·

Sekolah Dasar 027 Krayan

·

KECAMATAN TKI di Perbatasan ?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar